Kamis, 29 Desember 2011

PERLUKAH KITA MERAYAKAN TAHUN BARU...???

 Pergantian tahun hijriyah 1 Muharam 1433 H telah terjadi tanggal 27 November 2011, sementara pergantian tahun baru masehi 1 Januari 2012 akan dijelang satu hari mendatang. perlukah kita merayakan tahun baru…tentunya berdasar hukum Islam, yakni Al Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.

Bagi kebanyakan orang, mereka merayakan malam pergantian tahun dengan berlibur ke suatu tempat, nonton pagelaran musik, nonton televisi, bakar-bakar jagung sambil ngobrol, pergi ke tepi laut lalu ngelamun sambil memandang laut, begadang semalam suntuk, pesta kembang api, tiup terompet pada detik-detik memasuki tahun baru.
Wayang semalam suntuk bahkan tidak ketinggalan. 
Belakangan ini nampaknya sudah mulai menjadi trend di beberapa tempat, merayakan tahun baru dengan mengadakan dzikir berjama’ah. 

Untuk  contoh pertama di atas, aku sendiri tidak menyukai kegiatan seperti itu. Bagiku, acara seperti itu cenderung (maaf) sia-sia belaka…karena tidak jelas manfaatnya (setidaknya menurutku, maaf bagi yg tidak berkenan dengan ucapanku).
Biasanya aku lewatkan malam tahun baru dengan perasaan biasa saja, tidak banyak kegiatan di luar rumah.  lalu sebenarnya ... apa hukumnya menyambut tahun baru dengan ibadah….??

Aku cari-cari referensi di buku dan internet, serta bertanya kepada beberapa guruku, hasilnya, Rasulullah Saw tidak mencontohkan memperingati Tahun Baru…bahkan dengan dzikir, ataupun ibadah apapun. Bahkan, di beberapa referensi, aku temukan bahwa itu adalah bid’ah!
Sejenak aku tertegun dan beristighfar…duh, ternyata beribadah dalam menyambut tahun baru, bukanlah contoh Rasulullah Saw. ‘Untunglah’ aku cuma melakukan dua kali saja…dan segera berhenti, meski kala itu aku belum tahu hukumnya.
Tak dinyana, beberapa waktu kemudian aku dapatkan sebuah email di inboxku, isinya Keburukan Dalam Merayakan Tahun Baru…aku copy-paste saja sebagian isi emailnya..
1. Merupakan salah satu bentuk tasyabbuh (menyerupai) dengan orang-orang kafir yang telah dilarang oleh Rasulullah SAW.
2. Melakukan amal ketaatan seperti dzikir, membaca Al Qur’an, dan sebagainya yang dikhususkan menyambut malam tahun baru adalah pebuatan bid’ah yang menyesatkan.
3. Ikhtilath (campur baur) antara pria dan wanita seperti yang kita lihat pada hampir seluruh perayaan malam tahun baru bahkan sampai terjerumus pada perbuatan zina, Na’udzubillahi min dzaalika…
4. Pemborosan harta kaum muslimin, karena uang yang mereka keluarkan untuk merayakannya (membeli makanan, bagi-bagi kado, meniup terompet dan lain sebagainya) adalah sia-sia di sisi Alloh subhanahu wa ta’ala. Serta masih banyak keburukan lainnya baik berupa kemaksiatan bahkan kesyirikan kepada Alloh. Wallahu a’lam…

Pendapat lebih keras aku dapatkan juga dari email yang ada di inboxku…
Syaikhul Islam Ibnu Timiyah berkata, “Ikut merayakan hari-hari besar mereka tidak diperbolehkan karena dua alasan”.
Pertama, bersifat umum, seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa hal tersebut berarti mengikuti ahli Kitab, yang tidak ada dalam ajaran kita dan tidak ada dalam kebiaasaan Salaf.
Mengikutinya berarti mengandung kerusakan dan meninggalkannya terdapat maslahat menyelisihi mereka.
Bahkan seandainya kesamaan yang kita lakukan merupakan sesuatu ketetapan semata, bukan karena mengambilnya dari mereka, tentu yang disyari’atkan adalah menyelisihiya karena dengan menyelisihinya terdapat maslahat seperti yang telah diisyaratkan di atas.
Maka barangsiapa mengikuti mereka, dia telah kehilangan maslahat ini sekali pun tidak melakukan mafsadah (kerusakan) apapun, terlebih lagi kalau dia melakukannya.
Kedua, karena hal itu adalah bid’ah yang diada adakan. Alasan ini jelas menunjukkan bahwa sangat dibenci hukumnya menyerupai mereka dalam hal itu”. 

Beliau juga mengatakan, “Tidak halal bagi kaum muslimin ber-Tasyabuh (menyerupai) mereka dalam hal-hal yang khusus bagi hari raya mereka ; seperti, makanan, pakaian, mandi, menyalakan lilin, meliburkan kebiasaan seperti bekerja dan beribadah ataupun yang lainnya.
Tidak halal mengadakan kenduri atau memberi hadiah atau menjual barang-barang yang diperlukan untuk hari raya tersebut. Tidak halal mengizinkan anak-anak ataupun yang lainnya melakukan permainan pada hari itu, juga tidak boleh menampakkan perhiasan.

Ringkasnya, tidak boleh melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas dari syi’ar mereka pada hari itu. (Dalam Iqtidha Shirathal Mustaqim, pentahqiq Dr Nashir Al-’Aql 1/425-426).
Belakangan, aku teringat lagi dengan nasihat Bapakku. Beliau pernah berpesan padaku, jika tahun baru akan tiba, hendaknya kita banyak bermuhasabah, melakukan evaluasi terhadap amal perbuatan yang kita lakukan.
Rasulullah SAW sendiri sudah menyatakan bahwa manusia terbagi atas 3 golongan:
1. Golongan beruntung, jika hari ini lebih baik dari hari kemarin, amal perbuatannya hari ini lebih banyak daripada hari kemarin (serta maksiatnya lebih sedikit dibandingkan dg hari kemarin).
2. Golongan merugi, jika hari ini sama dengan hari kemarin. Dengan demikian, amal perbuatannya hari ini sama dengan hari kemarin.
3. Golongan celaka, jika hari ini lebih buruk daripada hari kemarin. Ini berarti, amal perbuatannya hari ini lebih sedikit dibandingkan hari kemarin.
So, akhirnya aku lebih memilih untuk bermuhasabah saja dalam menyongsong tahun baru, tidak perlu neko-neko, beramal tanpa tuntunan (contoh) dari Rasululloh SAW, apalagi menghambur-hamburkan harta untuk foya-foya…..........................