Senin, 09 Januari 2012

Menggapai Bahagia.....



Ketika di tanya kepada kita semua tentang tujuan hidup, semua orang sepakat tujuan hidupnya yaitu menggapai kebahagiaan.  semua orang pasti ingin menggapai yang  bahagia, tanpa terkecuali, mau si miskin atau kaya, yang tua maupun yang muda.

Untuk menggapai kebahagiaan dibutuhkan sebuah pengorbanan, dan tidaklah hidup ini berarti tanpa ada sesuatu yang dikorbankan, namun, sangat disayangkan manusia banyak salah jalan dalam mencari kebahagiaan, disangka itu adalah pantai kebahagiaan, namun ternyata hanya sebatas fatamorgana belaka, bukan kebahagiaan yang hakiki, celakanya semakin fatamorgana itu dilalui, semakin jauh pula ia dari jalan yang hakiki.Dikira kebahagiaan ada pada harta, ia kejar harta tersebut, lengan penuh letih dan peluh, mencari sumber-sumber harta. Namun, setelah didapatkan, hati tetap sempit, gundah serta gelisah!!!

Dikira pula kebahagiaan ada dipangkat serta kekuasaan, karena dilihat secara lahir mereka yang berkuasa dan berpangkat tampak bahagia. Apa yang diinginkan hanya berucap saja, dengan mudah melakukan apaupun dan memerintah siapa saja. namun ketika dimasuki dinding istananya terdengar banyak sekali keluh kesahnya, dalam tahta yang tinggi terdapat jiwa yang rapuh!!!

Lalu, apa sebenarnya kebahagiaan itu? Apa kebahagiaan yang harus dicari oleh manusia?!! Siapa sebenarnya manusia yang berbahagia?!! Bagaimana cara untuk menggapainya?

Manusia diciptakan oleh Allah, tentu yang paling tahu seluk beluk manusia, termasuk sebab bahagia dan sebab sengsara adalah Allah, bukan manusia. Sekiranya kita ingin mengetahui hakikat sebuah produk, tentu kita bertanya kepada pembuatnya, bukan kepada produk itu sendiri.

Ketika Al-Quran ditadabburi serta syariat islam di kaji, maka kita dapat menyimpulkan bahwa kebahagiaan yang hakiki adalah dengan mengaplikasikan penghambaan diri kepada Allah…orang yang berbahagia adalah orang yang berhasil menjadi hamba Allah, dan sarana kebahagiaan adalah semua sarana yang telah disediakan olehNya dalam meniti jalan penghambaan diri kepada Allah.

Karena penghambaan diri inilah, sebab diciptakannya manusia dan jin, ditegakkannya langit, serta dibentangkannya bumi, dan karena penghambaan inilah diturunkan kitab serta diutusnya rasul.

Allah berfirman :
وما خلقت الجن و الإنس الا ليعبدون

“Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan  agar  mereka menyembah;Ku” (QS.Adz-Zariyat : 56)

Berkata syaikh As-Sa’di dalam tafsirnya ” Ini adalah tujuanAllah menciptakan jin dan manusia, diutusnya rasul, yaitu untuk beribadah kepadanya, dan ini mencakup ma;rifat kepadaNya, kecintaan kepadaNya, tunduk kepadaNya…”

Kebahagiaan seseorang terletak pada ketenangan hatinya, lalu bagaimana agar hatinya menjadi tenang? Allah berfirman :
الذين آمنوا وتطمئن قلوبهم بذكرالله الآ بذكرالله تطمئن القلوب

“Mereka yang beriman, dan tenang hatinya dengan mengigat Allah. Bukankah dengan berzikir Allah, hati akan menjadi tenang”

Tidak  ada kenyamanan serta ketentangan hati kecuali dengan berzikir kepada Allah. Allah telah menciptakan hati dan menjadikan zikir sebagai gizi untuk memperoleh ketenangan hati. Ketika kita merasa sempit dada, maka ketahuilah sesungguhnya kita kurang berzikir kepada Allah.
ومن اعرض عن ذكري فإن له معيشة ضنكا و نحشره يوم القيامة أعمى

“Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkanya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS. Thaha:124)

Renungkan sejenak tentang diri kita, yang telah diciptakan oleh Allah dari setes air yang hina, dan dari itu ada yang menjadi mulia dan ada yang menjadi hina, ketika kita telah mengetahui bahwa kebahagian ada dalam penghambaan kepada Allah, maka sebaliknya, kegundahan, kesempitan hidup itu ketika kita melakukan maksiat kepada Allah. Sekarang mari kita fikirkan, misalnya ada seseorang yang membuat sebuah kulkas, tentu pasti tujuan diciptakannya untuk menyimpan makanan dan minuman, lalu apa yang terjadi ketika kita menggunakannya tidak sesuai dengan tujuan diciptakannya, seperti menggunakannya sebagai lemari baju, atau sebagai rak buku? begitu juga lampu, apa yang terjadi bila kita menjadikannya sebagai bola yang ditendang? lalu mobil ketika kita menjadikannya sebagai perahu? maka sudah pasti, tidak dipungkiri lagi oleh yang pintar maupun yang jahil, yang kita dapatkan bukan kenyamanan dalam menggunakan alat tersebut, melainkan kesusahan yang akan kita dapatkan jika kita menggunakannya tidak sesuai dengan tujuan penciptaannya.

Lalu bagaimana dengan diri kita, ketika kita menggunakannya bertolak belakang dengan tujuan penciptaan kita? Mengharapkan kebahagiaan? tidak!! sekali kali tidak!!

Allah telah menentukan taqdir semua makhluk dan tidak ada yang dapat merubah taqdir selainNya. Allah tentukan kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan kesengsaraan, kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan. Manusia tidak bisa melawannya, sekiranya Allah telah menentukan kemiskinan pada seseorang, maka tidak ada yang mengkayakannya, ketika Allah telah menentukan kepadanya kesengsaraan, maka tidak ada satupun yang dapat membahagiakannya.

Kalaulah begitu, kemana manusia hendak lari?! Kemana manusia hendak berteduh dan bernaung dari taqdir yang ia tidak memiliki daya dan upaya untuk merubahnya kecuali atas izinNya?! Kemana manusia hendak bersandar dari sesuatu urusan yang tidak di tangannya?!

Manusia yang berakal tentu akan bernaung kepada Zat yang telah mentaqdirkan segala sesuatu, dalam naungan-Nya ia akan merasakan ketenangan, dalam menyandarkan diri kepadaNya akan ia peroleh kebahagiaan, dalam kepasrahan diri kepadaNya akan sirna segala kecemasan dan kesedihan. Bagaimana ia tidak bahagia, bukankah jejak-jejak kasih sayang Allah begitu tampak dalam taqdir kehidupannya?! Bagaimana ia tidak tenang, bukankah semua taqdir yang ia suka atau yang ia benci, merupakan sarana untuk menggapai ridho dan cintaNya?

Dari mana kesedihan masuk ke dalam dirinya atau rasa takut menyelimutinya, karena sebelumnya ia telah diajarkan tentang cara menghadapinya, bersabar ketika sengsara dan beryukur ketika bahagia, sehingga sengsaranya tidak membawa kepada keputus asaan dan senangnya tidak membawanya kepada kesombongan dan kecongkakan.

Bahkan Nabi Muhammad -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- sebagai manusia yang paling sempurna ubudiahnya kepada Allah, ketika Allah telah mentaqdirkan sesuatu yang berat dalam dakwah beliau, yaitu dua orang yang selama ini sebagai pembela dan penopang dakwah beliau, Khadijah -radhiyallohu ‘anha- istri beliau dan Abu Thalib paman beliau, telah meninggal dunia. Membuat kaum Quraisy meningkatkan permusuhan mereka kepada beliau -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- dan memberi ultimatum untuk menghentikan dakwah beliau -Shallallohu ‘alaihi wa sallam-, bahkan telah berani pula mengusir beliau -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- dari Mekkah.

Berangkatlah beliau -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- ke Thaif, berharap pembelaan dan bantuan. Kiranya bukan pembelaan yang beliau -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- dapat dan bukan bantuan yang beliau peroleh, tapi malah cacian dan cemoohan, bahkan usiran oleh anak-anak dan wanita-wanita di sana, sedangkan beliau -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- seorang utusan Allah, Allah yang memiliki langit dan bumi. Mereka telah melukai, melempar beliau -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- dengan batu hingga luka kaki beliau -Shallallohu ‘alaihi wa sallam-, sebagaimana sebelumnya mereka telah melukai hati dan perasaannya. Belum sampai di situ malaikat gunung Akhsyabain meminta izin kepadanya untuk menimpakan gunung tersebut kepada mereka, sebagai tanda bahwa beliau -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- bukan sendirian.

Bertambah sedih beliau -Shallallohu ‘alaihi wa sallam-, karena yang beliau -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- inginkan bukanlah balas dendam atau kepuasan diri, yang beliau -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- inginkan hanya menampakkan bukti penghambaan diri kepadaNya, hal itu nampak betul dari do’a beliau panjatkan kepadaNya:

“Ya Allah , kepadaMulah aku keluhkan lemahnya kekuatanku, sedikitnya hilafku, hinanya diriku dimata manusia. Wahai Zat yang paling Pemurah ! Engkau-lah Rabb orang-orang yang lemah, dan Engkaulah Rabbku! Kepada siapa Engkau hendak titipkan diriku?! Apakah kepada orang yang jauh yang tidak peduli dengan diriku atau engkau hendak serahkan perkara diriku kepada musuh?! Meskipun begitu, selagi Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli!! Akan tetapi pengampunan-Mu lebih luas bagiku, aku berlindung dengan cahaya wajahMu -yang telah menerangi semua kegelapan, dengannya berjalan perkara dunia dan akhirat- dari turunnya murkaMu kepadaku atau jatuh kepadaku kebencianMu, hanya kepadaMu pengaduanku sampai Engkau ridho, dan tidak ada daya dan upaya kecuali denganMu “.

Semoga Allah menjadikan kita dari hambanya yang berbahagia di dunia dan akherat, amin.

Sumber:

Untukmu yang berjiwa hanif, Ust. Armen Halim Naro
Tafisr As-Sa’di